KIBLAT.NET – Secara umum, maksud dari penegakkan Syariat Islam adalah upaya untuk menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Bagi umat Islam, mengamalkan syariat secara kaffah merupakan konsekuensi iman yang harus ditegakkan (baca; Al-Baqarah, 208). Tidak bisa dipilah-pilih sesuai dengan selera, syariat harus diamalkan secarah utuh. Tanpa ada satu sisi pun yang diabaikan. Baik yang bersifat ubudhiyah, seperti; shalat, puasa, zakat, zikir maupun dalam hal muamalah, ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan dan seterusnya.
Namun demikian, upaya umat Islam untuk menegakkan syariat secara kaffah tidaklah mudah. Sejak runtuhnya khilafah Turki Utsmani, perlawanan orang-orang kafir untuk menghadang kampanye penegakkan syariat terus dimainkan. Berbagai macam cara rela mereka lakukan, asalkan penegakkan syariat tidak bangkit kembali. Menciptakan opini negatif tentang syariat Islam, menuduh syariat Islam itu sebagai ajaran yang kaku, jumud, kejam, berlawanan dengan hak asasi manusia, hingga mencoba mendefinisikan ulang makna penegakan syariat.
Selain itu, melalui media massa, mereka juga aktif mengkritisi upaya penegakkan syariat di beberapa wilayah mayoritas muslim sebagai suatu langkah mundur bagi hak asasi manusia. Tak jarang juga mereka menuduh umat Islam yang aktif menyuarakan penegakkan syariat sebagai kelompok radikal, fundamental, teroris dan tuduhan-tuduhan miring lainnya.
Penegakkan Syariat, Jaminan Kesejahteraan hidup?
Bagi umat Islam, kesejahteraan berupa hidup di lingkungan yang nyaman, damai, jauh dari perbuatan zalim serta tegaknya keadilan hanya bisa diperoleh jika ditegakkannya syariat Islam secara kaffah. Sebab, hukum yang paling adil serta paling ideal untuk mewujudkan pemerintahan yang adil sehingga terbentuk masyarakat sejahtera adalah hukum dari Sang Pencipta. Demikian juga sebaliknya, ketika Syariat Islam mulai dijauhkan maka kesejahteraan hidup pun akan semakin sulit untuk diwujudkan.
Ajakan untuk menegakkan syariat dengan janji hidup sejahtera semacam ini ternyata tidak mudah diterima oleh sebagian orang. Bagi mereka, janji tersebut hanyalah semacam ilusi yang ada dalam pikiran kelompok radikal. Apalagi fakta yang terjadi selama ini belum mampu membuktikan hal tersebut.
Justru jaminan hidup sejahtera dengan syariat Islam sering dicibir oleh kaum sekuler. Faktanya, Afghanistan pernah menerapkan syariat Islam sebagai dasar undang-undang dalam bernegara. Tapi apa yang terjadi? ternyata rakyatnya tetap saja tidak mengalami kemajuan. Tidak ada perubahan yang signifikan. Bahkan yang terjadi adalah Afghanistan masuk salah satu negara yang tertinggal di antara negara-negara Asia lainnya. Jadi, janji kesejahteraan setelah adanya penerapan Syariat Islam hanyalah omong kosong dan jauh dari realitas yang ada. Lalu mengapa kita mesti berjuang untuk menerapkan Syariat Islam?
Hal ini karena mereka menilai kesejahteraan dengan ukuran duniawi. Pembangunan dan industri, itulah alat ukur mereka terhadap kesejahteraan. Padahal Islam memiliki cara pandang sendiri dalam melihat kesejahteraan itu. Rasulullah SAW bersabda :
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang di pagi hari merasakan keamanan pada diri dan keluarganya, sehat badannya dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan seiisinya telah dikumpulkan baginya.” (HR Tirmidzi)
Penegakkan Syariat, Antara Kesejahteraan Dunia dan Kebahagian Abadi
Kesejahteraan hidup di bawah lindungan syariat memang sebuah harapan setiap muslim. Tapi itu bukanlah satu-satunya argumentasi yang menyebabkan mereka keukeh memperjuangkan tegaknya syariat. Lebih dari itu, ada banyak alasan utama lainnya yang melatarbelakangi mengapa umat Islam rela mengorbankan nyawa dalam perjuangan ini. Di antara pokok yang menjadi dasar utama tersebut adalah:
- Penegakkan syariat; konsekuensi iman seorang muslim
Berhukum dengan hukum Allah merupakan salah satu konsekuensi keimanan seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam asy-Syaukani berkata, “Dalam ancaman yang keras ini ada hal yang membuat kulit merinding dan hati bergetar ketakutan, karena syarat pertama, sesungguhnya Allah bersumpah dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan huruf peniadaan (Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman …). Allah meniadakan iman dari mereka —sedangkan iman adalah harta modal pokok para hamba Allah yang shalih— sehingga mereka mengerjakan ‘ghayah’ yaitu menjadikan rasul sebagai hakim pemberi keputusan (sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…pent).
(Syarat kedua) Allah tidak mencukupkan dengan tindakan itu saja, karena Allah lalu berfirman, ”…kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu…” Selain menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, Allah masih menggabungkan syarat lain, yaitu tidak adanya kesempitan dada, artinya keberatan dalam hati. Jadi menjadikan nabi sebagai pemberi keputusan dan tunduk saja tidak cukup sampai hal itu muncul dari lubuk hatinya dengan sikap hati yang ridha, tenang, sejuk, dan senang.
(Syarat ketiga) Allah belum mencukupkan dengan (kedua syarat) ini saja, namun Allah menambahkan lagi syarat yang lain, yaitu firman-Nya, “dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Maksudnya adalah mereka tunduk kepadanya dan menaatinya secara lahir dan batin.
Allah belum mencukupkan dengan (ketiga syarat) itu saja, namun Allah masih menambahkan dengan menyebut masdar sebagai penguat ‘tasliman’. Maka tidak ada iman bagi seorang hamba sampai ia mau menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, lalu ia tidak merasakan kesempitan dalam hati atas keputusan nabi, dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syariatnya sepenuh penyerahan diri, tanpa dicampuri oleh penolakan dan penyelisihan terhadapnya.” (Fathul Qadir, 1/484)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap orang yang keluar dari sunah Rasulullah dan syariatnya, maka Allah telah bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Suci bahwa orang tersebut tidak beriman sampai ia ridha dengan keputusan Rasulullah dalam setiap hal yang menjadi persoalan di antara mereka baik urusan dunia maupun akhirat, dan sampai tidak tersisa lagi dalam hati mereka rasa sempit atas keputusan hukum beliau.” (Majmu’ Fatawa, 28/431, lihat juga Majmu’ Fatawa, 35/367 dan 408)
0 komentar:
Posting Komentar